Dermatologist

Artikel

Marketing Claims : Testing & Approval

Pelajari istilah-istilah Marketing Claims untuk Testing & Approval yang banyak muncul pada produk personal care.


Pernah melihat berbagai klaim yang disematkan pada produk perawatan kulit? Sebenarnya, apakah klaim-klaim tersebut memiliki standar yang sama seperti klaim Halal MUI? Berikut beberapa Marketing Claims untuk Testing & Approval yang sering muncul sebagai usaha produsen untuk “meyakinkan” konsumen:

Clinically Tested

Tidak ada aturan yang jelas suatu produk dapat memperoleh label ‘Clinically Tested’. Apakah produk tersebut diuji klinis setelah formulasinya selesai? atau uji klinis dilakukan pada masing-masing bahan? Terkadang uji klinis dapat sesederhana dengan melakukan patch test dan menunggu selama 40 jam untuk melihat apakah muncul iritasi pada kulit. Namun biasanya tes ini dilakukan dengan subjek >10 orang untuk mendapatkan data statistik yang dianggap cukup.

Clinically Proven

Sedikit berbeda dengan Tested, untuk mendapatkan klaim Proven, tes uji klinis harus dilakukan berkali-kali dengan environtment terkontrol. Meskipun demikian, sama halnya dengan Clinically Tested, konsumen biasanya tidak mendapat kejelasan apakah yang diuji adalah formulasi akhir atau per bahan.

Dermatologist Tested

Seperti marketing claim yang lain, Dermatologist Tested juga memiliki variabel yang beragam. Klaim ini dapat berarti dermatologist sudah mereview formulasi produk, studi klinis, dan atau study report. Umumnya klaim ini mengacu pada formulasi final pada produk di pasaran dan telah melalui tes pada minimum 30 subjek. Namun, masih banyak pro-kontra terkait klaim Dermatologist Tested ini.

Dermatologist Approved

Klaim ini hanya membutuhkan seorang dermatologist untuk menyetujui produk pada kategori tertentu, misalnya: faktor keamanan, efikasi atau review bahan. Biasanya perusahaan yang melakukan informercial (membagikan informasi dengan tujuan komersial) hanya menggunakan seorang dermatologist yang memang merupakan konsultan produk tersebut. Pada perusahaan besar mungkin dapat menggunakan 4-5 orang dermatologist untuk membantu perusahaan mereview produk sekaligus menentukan klaim.

Untuk mendapatkan klaim ini, suatu produk final disebarkan ke komunitas dermatologist bersama dengan kuesioner. Dari hasil kuesioner yang diperoleh dari dermatologist inilah yang apabila kebanyakan dermatologist sepakat bahwa sebuah produk berkualitas baik maka dapat menggunakan klaim ini. Namun masih belum ada angka yang pasti seberapa banyak dermatologist yang dibutuhkan untuk mendapatkan klaim ini.


Pada dasarnya suatu produk harus diuji kelayakannya sebelum diedarkan kepada masyarakat melalui lembaga yang menaunginya (di Indonesia adalah BPOM), sehingga dapat dipastikan keamanannya. Testing & Approval tambahan dari profesi tertentu pada akhirnya hanya untuk “mempertegas” posisi brand dan mendapatkan image yang lebih “meyakinkan” sehingga efeknya yang paling signifikan adalah sebagai bahan marketing.

Share on:

Tinggalkan komentar